Penalti yang Menumbangkan Mimpi Karl-Johan Johnsson

Sebelum laga perempat final Liga Europa antara Manchester United vs FC Copenhagen yang berlangsung di Stadion RheinEnergie, Selasa (11/8/2020) dini hari WIB, mungkin hanya segelintir orang yang mengenal sosok Karl-Johan Johnsson. Namun, ia mendadak jadi momok paling menyebalkan bagi para pendukung Setan Merah.

Manchester United harus tertatih-tatih untuk bisa menang 1-0 dan lolos ke babak semifinal setelah melalui drama perpanjangan waktu. Gol semata wayang pasukan Ole Gunnar Solskjaer dicetak oleh Bruno Fernandes lewat titik putih pada menit ke-105. 

Trio Anthony Martial, Mason Greenwood, dan Marcus Rashford dibuat mati kutu oleh penampilan fantastis Karl-Johan Johnsson.

Tercatat, penjaga gawang kelahiran Swedia itu berhasil menghalau 13 tendangan sepanjang laga yang berlangsungs selama 120 menit. Jumlah penyelamatan Karl-Johan Johnsson adalah yang tertinggi dalam satu laga sepanjang sejarah Liga Europa sejak 2009.

Meski gagal mengantarkan timnya melaju ke babak semifinal, tapi Karl-Johan Johnsson terpilih sebagai pemain terbaik di laga tersebut dengan perolehan rating 8,6 versi whoscored.com.

Mantan punggawa Manchester United, Robin van Persie, memuji habis-habisan sang penjaga gawang yang kini memasuki usia 30 tahun. Bahkan ia mengaku heran mengapa kiper sekelas Johnsson hanya bermain bagi klub kecil.

Saat ditanya apakah ada kemungkinan Karl-Johan Johnsson membela klub yang lebih besar setelah pertandingan tersebut, Van Persie menjawab, "Dia layak mendapatkan kesempatan itu."

Karier Karl-Johan Johnsson sebenarnya bisa saja. Memulai debut bersama klub Liga Swedia, Halmstad pada tahun 2008, Johnsson kemudian hijrah empat tahun berselang dengan membela NEC Nijmegen.

Di sana ia cuma bertahan semusim sebelum akhirnya pindah ke tim Denmark, Renders FC. Petualangan sang penjaga gawang berlanjut setelah tiga musim membela Renders FC. Klub Perancis, FC Guingamp yang jadi pelabuhan berikutnya.

Di sinilah Karl-Johan Johnsson menemukan permainan terbaiknya di bawah mistar. Ia menorehkan 103 laga, yang terbanyak dibanding tiga klub yang pernah dibela sebelumnya. 

Kepiawaiannya membuat FC Copenhagen kepincut. Pada awal musim 2019, klub Swedia tersebut memboyong Johnsson ke Telia Parken. Sampai saat ini, Johnsson telah bermain sebanyak 43 laga di semua kompetisi dengan catatan 12 kali nir bobol.

Di level Timnas, Karl-Johan Johnsson memiliki 7 caps pertandingan membela Swedia sejak melakukan debut pada tahun 2012.

Karl-Johan Johnsson memang harus mengubur mimpinya untuk bisa terus mengarungi sengitnya Liga Europa musim ini. Namun, jika melihat penampilan terakhirnya di laga kontra Manchester United, rasanya ia tak perlu terlalu kecewa.

Seperti apa yang dilontarkan oleh Owen Hargreaves sesaat setelah laga selesai, "Satu-satunya cara Manchester United bisa mengalahkan dia hanyalah dari titik penalti."

Penjaga Gawang, Sejarah Pemilik Nomor Satu yang Abadi


Angka satu kerap dikaitkan dengan yang terbaik. Ranking satu di sekolah, posisi satu di sebuah perlombaan, juara satu di hati seseorang, adalah beberapa contoh mengapa satu angka yang begitu sakral.

Jika beralih ke sepakbola, nomor satu selalu identik dengan peran penjaga gawang. Seperti sebuah aturan tak tertulis, setiap tim sepakbola akan mempercayakan nomor punggung satu kepada sosok yang ada di bawah mistar gawang tersebut.

Penjaga gawang memang sangat spesial jika dibanding dengan peran-peran pemain lain di sepak bola. Setiap tim boleh tidak memainkan strikernya, tapi jangan harap melihat tim tersebut tampil tanpa sosok penjaga gawang di bawah mistar.

Penjaga gawang juga jadi satu-satunya pemain yang diizinkan menyentuh bola menggunakan tangan. Kecuali Diego Maradona di final Piala Dunia 1986, kamu akan melihat pemain dihadiahi kartu kuning atau bahkan merah jika dengan sengaja menyentuh si kulit bundar dengan tangan.

Selain peran spesialnya, apa yang menjadi dasar utama penjaga gawang selalu menggunakan nomor punggung satu?

Jawabannya hadir pada tahun 1928, tepat saat Arsenal yang diasuh Herbert Chapman bertanding melawan Sheffield Wednesday di First Division. Pertandingan tersebut menjadi sejarah karena untuk pertama kalinya, sebuah kesebelasan sepakbola memakai nomor punggung di setiap pemainnya.

Nomor punggung tersebut diurut berdasarkan posisi dalam formasi 2-3-5 yang saat itu sedang populer. Ketentuannya; Penjaga Gawang (1), full-back kanan (2), full-back kiri (3), right-half (4), center-half (5), left-half (6), outside-right atau penyerang sayap kanan (7), inside-right (8), center-forward atau penyerang tengah (9), inside-left (10), dan outside-left atau penyerang sayap kiri (11).

Pemberian nomor punggung tersebut menjadi terobosan paling revolusioner kala itu. Penonton yang menyaksikan jalannya pertandingan, bisa dengan mudah mengidentifikasi setiap pemain yang berlaga di lapangan.

Pada tahun 1939, FA membuat aturan resmi terkait kewajiban setiap tim di Liga Inggris untuk memberikan nomor punggung 1-11 kepada pemain yang jadi starter.

Meski tak ada aturan pasti yang menentukan nomor punggung mewakili posisi tertentu di lapangan, tapi secara alamiah memunculkan standar jika seorang penjaga gawang akan secara absolut mengenakan nomor punggung satu. Kesepakatan tak tertulis ini nyaris diterima secara universal.

Argentina yang Berani Beda

Karena tak ada aturan baku, tak selamanya pemberian nomor punggung selalu berdasarkan posisi sang pemain. Ambil contoh yang paling terkenal adalah Timnas Argentina di Piala Dunia 1978 dan 1982. Alih-alih mengikuti tren yang ada, Argentina malah memberikan nomor punggung sesuai alfabet.

Akibat ketentuan itu, Ossie Ardilles didapuk menjadi pemain Argentina yang mengenakan nomor punggung satu. Padahal Ardilles tidak berposisi sebagai penjaga gawang.

Namun, dari semua pemain Argentina tersebut, ada satu pemain yang tak mengindahkan aturan nomor punggung. Ia adalah Diego Maradona. Alih-alih memakai nomor punggung 12 sesuai urutan abjad, Maradona diizinkan mengenakan nomor 10 yang dikenal keramat.

Mereka yang Menolak dan Ingin Menjadi Nomor Satu

Saat ini, pemberian nomor punggung sudah lebih fleksibel. Patron tentang nomor punggung harus sesuai posisi pemain mulai ditinggalkan. Banyak penjaga gawang yang tak menginginkan memakai nomor satu dengan berbagai alasan.

Misalnya Rui Patricio yang di Wolves mengenakan nomor 11. Alasannya sebagai bentuk penghormatan kepada penjaga gawang Carl Ikeme yang terkena Leukimia. Atau ada juga Pepe Reina yang identik dengan nomor 25.

Jika ada penjaga gawang yang menolak, uniknya ada pula pemain-pemain outfield yang malah ingin mencicipi nomor punggung satu.

Legenda Belanda, Edgar Davids, pernah mengenakan jersey nomor satu ketika membela Barnet FC di League Two. Alasannya saat itu Davids menjabat sebagai pemain sekaligus pelatih tim.

Simon Vukcevic dipercaya memakai nomor punggung satu oleh FK Partizan di Liga Serbia. Itu merupakan bentuk penghargaan atas popularitasnya di kalangan pendukung Partizan. Kala itu Vukcevic berusia 17 tahun tapi sudah menjadi andalan dan idola fans Partizan.

Di balik sejarahnya yang panjang, satu tetaplah jadi nomor abadi untuk seorang penjaga gawang. Satu bisa jadi bentuk apresiasi tertinggi pada posisi yang wajib dan tak akan pernah terggantikan dalam permainan sepakbola.

***

Buah Kesabaran 10 Tahun Emiliano Martinez

Dalam sebuah interview pekerjaan, tak jarang ditemui pertanyaan yang menguji rasa percaya diri seseorang. Salah satunya, "apa yang kamu lihat di lima tahun ke depan?" Andai sang pelamar itu adalah Emiliano Martinez, waktu lima tahun belumlah cukup. Butuh kesabaran 10 tahun lamanya, hingga ia akhirnya dapat kesempatan membuktikan kualitas yang dimiliki.

Arsenal mengalahkan Chelsea 2-1 dalam laga final FA Cup pada Minggu (2/8/2020) dini hari di Stadion Wembley. Pierre-Emerick Aubameyang jadi pahlawan berkat dua golnya. 

Penyerang asal Gabon tersebut memang jadi sorotan utama dalam laga final FA Cup kali ini, tapi sebenarnya masih ada sosok lain yang luput dari perhatian. Ia adalah palang pintu terakhir pertahanan Arsenal, Emiliano Martinez. 

Bisa dibilang, laga ini adalah pertandingan terbesarnya selama membela The Gunners. Sejak kiper utama Bernd Leno menderita cedera ketika berhadapan dengan Brighton pada Juni lalu, praktis Emiliano Martinez yang berstatus kiper cadangan  naik pangkat. Martinez tak menyia-nyiakan kesempatan untuk jadi pilihan pertama di bawah mistar Arsenal. Hingga akhirnya berhasil mengantar Arsenal juara FA Cup.

Buah Kesabaran 10 Tahun


Mungkin tak banyak yang tahu jika musim ini adalah tahun ke-10 Emiliano Martinez membela Arsenal. Menjadikannya sebagai pemain "paling senior" di skuat Mikel Arteta. Bahkan legenda-legenda Arsenal saja sedikit kali yang begitu setia seperti Emiliano Martinez. Ambil contoh Thierry Henry yang berbaju Arsenal selama delapan musim, atau Robert Pires yang cuma enam musim.

Hal yang membuat Emiliano Martinez tak banyak dibicarakan, karena masa 10 tahunnya membela Arsenal lebih banyak dihabiskan di klub-klub lain sebagai pemain pinjaman.

Bergabung di akademi Arsenal pada tahun 2010, kiper kelahiran Argentina ini baru bisa menjalani debut pada tahun 2012 melawan Coventry City di Carabao Cup setelah sebelumnya dipinjamkan ke Oxford United.

Emiliano Martinez kembali dipercaya menjalani penampilan keduanya di kompetisi yang sama melawan Reading, Martinez bisa dibilang tampil buruk karena kemasukan 5 gol. Beruntung Arsenal masih bisa menang 7-5 berkat hattrick Theo Walcott.

Musim 2013–2014 jadi kali kedua Martinez dipinjamkan. Berseragam Sheffield Wednesday, Martinez cuma melakoni 11 laga. Di musim berikutnya, ia kembali ke Arsenal dan menjadi kiper ketiga pelapis David Ospina dan Wojciech Szczesny.

Seolah mendapat berkah dari cederanya David Ospina dan hukuman larangan tampil yang diterima Wojciech Szczesny, Martinez mendapat kesempatan menjalani debut di panggung Liga Champions melawan Anderlecht. Arsenal sukses meraih kemenangan 2-1 dalam laga tersebut.

Sebulan berselang, Martinez kembali bermain ketika Wojciech Szczesny mengalami cedera. Kali ini di ajang Premier League melawan Manchester United. Sejak itu, ia tampil dalam empat pertandingan Arsenal berikutnya.

Itu kali terakhir Emiliano Martinez bisa dipercaya mengawal bawah mistar Arsenal. Dalam empat musim berikutnya, Martinez empat kali dipinjamkan ke klub berbeda-beda. Mulai dari Rotherham United (2015), Wolves (2015-2016), Getafe (2017-2018), dan Reading (2019).

Musim 2019-2020, Unai Emery memercayai Emiliano Martinez sebagai deputi Bernd Leno di bawah mistar gawang sehingga tak ada lagi "masa sekolah" bagi kiper Argentina tersebut.

Bahkan Unai Emery selalu menurunkan Martinez di semua laga Liga Europa yang dimainkan Arsenal. Meskipun, kiprah Arsenal harus kandas di babak 16 besar.

Seperti sudah disebutkan, laga Arsenal melawan Brighton pada Juni lalu bagaikan momentum karier Emiliano Martinez di London Utara. Kala Bernd Leno harus ditandu keluar lapangan karen cedera, praktis Martinez jadi pilihan utama.

Sejak saat itu, Martinez selalu mengawal gawang Arsenal hingga pertandingan final FA Cup melawan Chelsea. Bahkan persentase save Martinez di Premier League musim ini adalah 81.8%, mengungguli Bernd Leno yang cuma 74,2%.

Roda Hidup yang Terus Berputar


Damián Emiliano Martínez Romero, lahir di Mar del Plata, Argentina, pada 2 September 1992. Martinez besar dalam keluarga yang tergolong miskin. Di suatu kesempatan, bahkan orang tuanya kesulitan menyediakan makanan dan membayar tagihan.

Martinez mulai mengenal sepakbola ketika bergabung dengan klub junior Independiente yang berlokasi 400 km dari kampung halamannya.

Saat berusia 16 tahun, bakat Martinez tercium oleh pemandu bakat Arsenal. Mahar 1,1 juta euro dikeluarkan The Gunners demi memboyongnya dari Independiente.

Sebenarnya, keluarga tak mengizinkan dirinya untuk meninggalkan Argentina. Namun, Martinez yang masih berusia 16 tahun kala itu bersikukuh untuk pergi dan bercita-cita mengubah kondisi ekonomi keluarga melalui sepakbola.

Sepuluh tahun setelah meninggalkan Argentina, sepuluh tahun setelah dipinjamkan ke berbagai klub, sepuluh tahun setelah menjadi kiper pelapis Arsenal, kini Emiliano Martinez berhasil memanen buah kesabaran yang terus ia pupuk.

Sebuah foto memperlihatkan Emiliano Martinez sedang face call dengan keluarganya di Argentina sesaat setelah ia menjuarai FA Cup. Sebuah foto yang memancarkan gurat haru, mengajarkan arti dari kesabaran.

***

Mengulik Para Pengusik Kepa Arrizabalaga di Bawah Mistar Chelsea

Publik dibuat tercengang sesaat setelah Liverpool meresmikan pembelian Alisson Becker dari AS Roma. Bukan tanpa sebab, pasalnya Alisson didaulat sebagai pembelian kiper termahal sepanjang sejarah kala itu dengan bandrol 75 juta euro. 

Nada skeptis langsung mencuat karena Liverpool sangat berani mengeluarkan biaya besar hanya untuk seorang penjaga gawang. Umumnya, para striker atau playmaker yang selalu dapat porsi lebih besar ketika sesi transfer dibuka.

Namun, keterkejutan publik sepakbola terhadap transfer Alisson Becker segara teralihkan kala Chelsea merampungkan proses kepindahan Kepa Arrizabalaga dari Athletic Bilbao senilai 80 juta euro. Angka tersebut menjadikan Kepa Arrizabalaga sebagai kiper termahal di dunia sepanjang sejarah.

Sebagai suksesor Thibaut Curtois yang baru hijrah ke Real Madrid, tentu membuat publik Stamford Bridge menaruh ekspektasi tinggi terhadap Kepa. Apalagi ditambah dengan statusnya sebagai kiper termahal di dunia.

Di saat Alisson Becker menjadi bintang Liverpool dengan gelar Liga Champions dan Premier League, Kepa Arrizabalaga malah jadi pesakitan di bawah mistar Chelsea. Dua tahun berseragam The Blues, kritik pedas terus dilayangkan kepada pria kelahiran Basque tersebut. Bahkan di musim pertamanya, Kepa sempat bersitegang dengan Maurizio Sarri karena menolak diganti. 

Mengutip Daily Mail, Kepa Arrizabalaga memiliki statistik terburuk di antara para penjaga gawang di lima liga top Eropa. Dari 98 kiper yang telah bermain selama minimal 1.500 menit di Eropa, persentase penyelamatan Kepa hanyalah 54,5 persen. Angka itu didapat setelah hanya bisa menyelamatkan 55 dari 99 tembakan  yang mengarah kepadanya.

Bandingkan beberapa kiper top lain seperti Hugo Lloris (80,2%) atau David de Gea (74,2%) yang musim ini kerap membuat blunder.

Frank Lampard tak tinggal diam melihat lini belakangnya jadi kelemahan yang terus dimanfaatkan para lawan Chelsea. Setelah sukses merekrut Hakim Ziyech dan Timo Werner, bidikan Lampard selanjutnya di bursa transfer tentu saja posisi penjaga gawang.

Beberapa nama sudah mulai muncul ke publik untuk mengusik posisi Kepa Arrizabalaga di bawah mistar gawang Chelsea.

Berikut nama-nama penjaga gawang terbaik yang bisa saja di musim depan akan berbaju The Blues:

1. Andre Onana

Ajax Amsterdam seolah tak pernah kehabisan talenta-talenta muda. Setelah musim lalu mereka melepas Matthijs de Ligt ke Juventus dan Frankie de Jong ke Barcelona, kini nama Andre Onana yang santer terdengar bakal dilego.

Pemain kelahiran Kamerun ini menjadi kiper dengan prospek cerah di Eropa dalam beberapa tahun terakhir. Onana menjadi bagian penting kala Ajax menembus babak semifinal Liga Champions dua musim lalu dan mengantarkan Ajax juara Liga Belanda musim ini.

Dana 26 juta poundsterling jadi syarat bagi Chelsea untuk mendapatkan kiper berusia 24 tahun tersebut.

2. Nick Pope

Sejak zaman dulu, Inggris bisa dibilang cukup sulit menelurkan kiper-kiper hebat. Anomali pada musim ini, beberapa kiper Inggris nyatanya mampu membuktikan kemampuan. Salah satunya adalah Nick Pope. Sejak bergabung dengan Burnley dari Charlton Athletic pada tahun 2016, Pope berkembang jadi salah satu kiper terhebat di Liga Inggris.

Di musim ini, Pope mampu 15 kali menjaga gawangnya tetap perawan. Ia hanya kalah dari Ederson yang mencatatkan 16 nir bobol bersama Manchester City.

Mengutip dari Transfer Market, nilai Nick Pope di pasaran sekitar 12 juta euro. Bukan uang yang cukup banyak untuk klub sekelas Chelsea.

3. Dean Henderson

Satu lagi kiper Inggris yang mencuri perhatian di Premier League musim ini. Meski hanya membela klub promosi Sheffield United, tapi tak membuat pijar Dean Henderson memudar. Mengemas 13 kali nir bobol jadi bukti sahih kepiawaian Dean Henderson di bawah mistar gawang.

Peluang Chelsea menggaet Dean Henderson pun cukup besar, mengingat ia berstatus pemain pinjaman dari Manchester United. Andai Henderson memilih kembali ke Old Trafford, kemungkinan ia cuma jadi pelapis David de Gea saja.

4. Jan Oblak

Andai Chelsea menginginkan penjaga gawang yang kualitasnya sudah teruji di Eropa, nama Jan Oblak adalah pilihannya. Empat kali didaulat sebagai kiper terbaik di Liga Spanyol jadi bukti nyata bagaimana terampilnya Jan Oblak di bawah mistar gawang.

Sayang, untuk mendatangkan kiper Polandia tersebut tidak mudah. Tak kurang biaya 100 juta euro plus Kepa Arrizabalaga konon jadi mahar memboyong Jan Oblak ke London.

5. Marc-Andre ter Stegen

Ter Stegen masih menyisakan dua tahun kontraknya bersama Barcelona. Namun, tak menutup kemungkinan jika Chelsea bisa merekrutnya di musim ini. Apalagi kondisi internal Barcelona sedang tidak baik akibat konflik antara jajaran manajer dan para pemain.

Andai Ter Stegen mau berlabuh ke London, Chelsea akan jadi kekuatan besar yang berpeluang mengganggu dominasi Liverpool dan Manchester City di Liga Inggris.

Andre Schurrle dan Mereka yang Pensiun Terlalu Dini



Bagi sebagian orang, profesi sepak bola merupakan pilihan pekerjaan yang riskan. Tak seperti pegawai kantoran, pemain sepak bola memiliki jenjang karier yang cukup singkat. Rata-rata angka produktif para pemain sepak bola akan menurun jika telah memasuki usia 36 tahun ke atas. 

Ketahanan fisik adalah kunci utama para pesepak bola profesional demi menunjang performanya di lapangan. Tak ayal, ketika usia makin bertambah namun tidak diimbangi oleh fisik prima, siap-siap saja pintu keluar bernama pensiun menjadi pilih logis untuk diambil.

Andre Schurrle merupakan kasus terbaru dari ketatnya industri sepak bola belakangan ini. Di usia yang masih tergolong muda yakni 29 tahun, pemain yang membawa Jerman juara Piala Dunia 2014 itu memutuskan pensiun.

Melalui akun Instagramnya, Schurrle menuliskan salam perpisahannya. "Atas nama saya dan keluarga, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang menjadi bagian dari tahun-tahun yang fenomenal ini! Dukungan dan cinta yang kalian berikan luar biasa dan lebih dari yang pernah saya minta."

Nama Schurrle mencuat kala membela Mainz 05 dan Bayern Leverkusen. Chelsea kemudian memboyong pemuda kelahiran 6 November 1990 ke Stamford Bridge. Dua tahun di London, Schurrle cuma bermain sebanyak 44 kali dan mengemas 11 gol. Ia kemudian hijrah ke Wolfsburg sebelum akhirnya berlabuh bersama Dortmund.

Sayang, lagi-lagi Schurrle tak bisa menunjukkan performa terbaiknya. Sempat dipinjamkan ke Fulham dan Spartak Moscow, hingga akhirnya ia memilih untuk pensiun setelah Dortmund memutus kontraknya meski masih menyisakan durasi satu tahun.

Andre Schurrle hanyalah satu nama dari pesepak bola yang memilih gantung sepatu di usia yang terbilang dini. Beberapa lainnya adalah;

1. Marco van Basten



227 gol selama berkarier sebagai pesepak bola merupakan bukti bagaimana kehebatan Marco van Basten sebagai seorang striker. Periode 1980-an hingga akhir 1990-an van Basten adalah role model penyerang kelas satu. Punya kaki kiri dan kanan yang sama kuat, jago duel udara, dan ketenangannya dalam menyelesaikan peluang sekecil apapun, bikin ia diganjar tiga gelar Ballon d`Or dan satu gelar pemain terbaik FIFA.

Ajax, AC Milan dan Timnas Belanda mungkin cukup beruntung memiliki van Basten dalam timnya. Berbagai gelar mampu van Basten persembahkan untuk klub yang ia bela. Sayang, bakat besarnya itu terkendala cedera hebat yang ia alami di usia 28 tahun. Meski masih bisa bertahan, cedera pergelangan kaki, membuatnya harus memilih pensiun dini di usia 31 tahun.

2. Eric Cantona



Pada 18 Mei 1997 publik Old Trafford dibuat kaget akibat keputusan Eric Cantona pensiun dari dunia sepak bola. Bagaimana tidak, pemain bernomor 7 itu sedang berada di masa emasnya dan tidak terganggu masalah cedera. Di musim terakhirnya membela Manchester United, bahkan Cantona masih bisa mengoleksi 11 gol dan 12 assist.

Kekalahan atas Dortmund di semifinal Liga Champions 1996/1997 dikabarkan jadi alasan kuat Cantona memilih pensiun. Padahal jika Cantona masih mau melanjutkan karier sepak bolanya, minimal selama dua tahun, ia bisa jadi bagian skuat Manchester United meraih Treble Winner sekaligus mengantar Prancis jadi juara Piala Dunia 1998.

3. Carlos Roa



Jika kebanyakan pesepak bola memilih pensiun dini karena alasan cedera, beda halnya dengan Carlos Angel Roa. Kiper timnas Argentina di Piala Dunia 1998 ini memutuskan gantung sepatu akibat menganut seuatu kepercayaan.

Ya, Roa meyakini jika akan terjadi kiamat pada akhir tahun 1999. Alhasil, Roa tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Keluarga dan staff Mallorca, klub Roa kala itu, panik dengan perilaku Roa tersebut.

Padahal karier Carlos Roa sebenarnya sedang menanjak. Setelah tampil membela Argentina di Piala Dunia 1998, Roa punya kesempatan bergabung bersama Manchester United sebagai penerus Peter Schmeichel

4. Just Fontaine



Mungkin nama Just Fontaine cukup asing di telinga penggemar sepak bola. Padahal, pemain berkewarganegaraan Perancis itu punya rekor hebat yang rasanya sulit dipecahkan oleh siapapun. 

Sebelum hadirnya Ronaldo dan Miroslav Klose, Just Fontaine merupakan pemegang rekor pencetak gol terbanyak di Piala Dunia dengan 13 gol. Hebatnya, Just Fontaine cuma butuh satu gelaran Piala Dunia saja untuk mengemas seluruh golnya itu. Semuanya terjadi di Piala Dunia 1958 yang digelar di Swedia. 

Sayangnya, pada saat itu belum ada penghargaan khusus terhadap pemain yang paling banyak mencetak gol. Just Fontaine baru menerima Sepatu Emas 40 tahun kemudian yang diserahkan legenda Inggris, Gary Lineker.

Nama Just Fontaine memang tak setenar para top skor Piala Dunia lainnya. Mungkin salah satu alasannya karena karier Fontaine yang singkat. Pemain yang punya darah Maroko ini terpaksa pensiun dini di usia 27 tahun setelah dua kali mengalami patah tulang kaki.

5. Sebastian Deisler



Sebastian Deisler adalah pemain Jerman yang punya prospek cerah. Di usia 20 tahun, Deisler sudah membela timnas Jerman. Deisler juga merupakan pemain termuda yang masuk skuat Jerman dalam gelaran Piala Eropa 2000 di Belanda dan Belgia. 

Sayang, bakat besar sejak usia muda itu harus pupus akibat cedera berkepanjangan. Akibatnya, Deisler merasa depresi dan tak pernah lagi mempercayai kakinya untuk terus bermain sepak bola. Sebastian Deisler memutuskan gantung sepatu di usia 27 tahun ketika membela Bayern Munich.

6. Hidetoshi Nakata



Di media 90-an, tak banyak pesepak bola asal Asia yang bisa merumput di liga-liga Eropa. Satu nama yang mungkin merepresentasikan Asia di industri sepak bola kala itu tak lain adalah Hidetoshi Nakata. Pemain Jepang ini berhasil menjalani debut manisnya bersama Perugia. 

1,5 tahun berselang, sinar Nakata makin gemerlap setelah pindah ke AS Roma. Ia mampu mempersembahkan Scudetto untuk Roma pada musim 2000/2001. 

David Beckham versi Asia ini juga sempat merumput di beberapa klub seperti Fiorentina, Parma, Bologna, dan Bolton, sebelum akhirnya memilih pensiun di usia 29 tahun.

Nakata punya alasan kuat gantung sepatu di usia yang masih produktif untuk ukuran pesepak bola. 

"Ketika saya lahir saya tidak dilahirkan untuk menjadi pemain sepak bola, saya dilahirkan untuk menjadi diri saya sendiri," ucap Nakata.

"Jadi sepak bola hanya gairah saya. Saya tidak melihat sepak bola sebagai karier atau impian saya," imbuhnya, dikutip SportFEAT.com dari SCMP.com.

7. David Bentley



Jika sudah tak cinta, untuk apa dilanjutkan. Mungkin ungkapan itu sangat tepat ditunjukkan kepada David Bentley. Pemain yang sempat dijuluki The Next David Beckham karena memiliki akurasi umpan yang presisi ini memutuskan gantung sepatu karena tak lagi memiliki gairah saat bermain sepak bola. 

Berada di puncak karier kala merumput bersama Spurs, Bentley mengakhiri kariernya pada tahun 2013 setelah membela beberapa klub seperti Birmingham City, West Ham United, Blackburn hingga klub Rusia, FC Rostov.

"Sekarang semuanya seperti robot mulai dari sisi media sosial hingga uang yang dihasilkan di pertandingan. Saya benci mengatakannya, tapi itu membuatnya membosankan dan mudah diprediksi. Untuk bermain tiga atau empat tahun lagi bukan pilihan tepat bagi saya," ujar pemain yang pensiun di usia 29 tahun tersebut seperti dikutip dari The Guardian.