Flat Earth FC, Bola Memang Bulat tapi Tidak dengan Bumi!




Dalam salah satu video channel YouTube-nya, Deddy Corbuzier mengundang Young Lex untuk berbincang-bincang. Meski Young Lex dikenal sebagai seorang rapper, tapi bukan itu yang jadi tajuk utama pembicaraan. 

Jauh dari obrolan tentang musik, Deddy Corbuzier dan Young Lex berdebat seru tentang teori konspirasi di balik pandemi virus corona. Seru yang saya maksud, karena obrolan tentang teori konspirasi itu jadi bahan diskusi di berbagai media sosial. 

Ada yang percaya jika pandemi corona berasal dari teori konspirasi, ada pula orang-orang yang beranggapan cakap-cakap mereka cumalah omongan sampah. Ya, seperti lazimnya teori konspirasi, pada akhirnya akan selalu menimbulkan perdebatan mana yang benar dan mana yang salah.

Oxford English Dictionary menjelaskan teori konspirasi adalah suatu teori, bahwa kejadian atau gejala timbul sebagai hasil konspirasi antara pihak-pihak yang berkepentingan, dan adanya suatu lembaga yang bertanggungjawab atas kejadian yang tak bisa dijelaskan.

Teori konspirasi memang sudah ada sejak zaman dulu. Momen bersejarah Neil Amstrong menginjakkan kaki di bulan mungkin jadi salah satu teori konspirasi paling seksi yang terus dibahas sampai sekarang. Apalagi berkat kemajuan dunia teknologi, membuat arus informasi makin deras bak pupuk yang menyuburkan macam-macam teori konspirasi.

Jika Deddy Corbuzier dan Young Lex masih mendebatkan teori konspirasi di internet, Javi Poves memilih jalan yang lebih ekstream. Kepercayaannya terhadap teori bumi datar, mendorongnya membentuk sebuah tim sepak bola bernama...... Flat Earth FC!

Sepak Terjang Javi Poves 




Sebelum jauh membahas Flat Earth FC, mari kita cari tahu dulu siapa Javi Poves. Ia termasuk pesepak bola muda yang menjanjikan. Tumbuh besar di kota Madrid, Poves menimba ilmu di akademi sepak bola Atletico Madrid dan Rayo Vallecano sebelum akhirnya direkrut Sporting Gijon. 

Pemain yang berposisi sebagai bek tengah itu menjalani debut di La Liga dalam pertandingan terakhir musim 2010-2011. Ia lalu memilih pensiun dini setelah cuma menjalani satu pertandingan itu bersama Sporting Gijon. Usianya baru 23 tahun kala itu.

Idealisme dalam diri Javi Poves yang membuatnya pergi meninggalkan sepak bola. "Apa yang saya lihat semakin jelas. Sepak bola profesional hanyalah tentang uang dan korupsi. Ini kapitalisme, dan kapitalisme adalah kematian," ucap Poves. 

"Saya tidak ingin menjadi bagian dari sistem yang didasarkan pada orang yang menghasilkan uang dengan mengorbankan kematian orang lain di Amerika Selatan, Afrika dan Asia. Sederhananya, hati nurani saya tidak akan membiarkan saya melanjutkan ini," lanjutnya.

Javi Poves meninggalkan sepak bola sehingga bisa menjalani kehidupan yang "bersih". Ia memutuskan berkeliling dunia. Poves tidak bisa menerima bagaimana sistem kapitalis bekerja dalam industri sepak bola, namun ia tak naif tentang bagaimana uang bekerja. 

Dia mengatur keuangannya dengan menggunakan 1.000 Euro per bulan yang dia dapatkan dari menyewakan apartemen di Madrid sehingga bisa membiayai perjalannya.

Javi Poves menghabiskan lima tahun hidup di sudut paling tidak jelas di dunia, termasuk Iran, Venezuela, Kyoto, Novosibirsk, Buenos Aires, hingga Senegal di mana ia terjangkit malaria.

Kembali ke Sepak Bola




Sejauh-jauhnya ia berpergian, ternyata tak bisa mengalahkan cintanya terhadap sepak bola. Poves kembali ke sepakbola bersama klub SS Reyes sebelum akhirnya menemukan CD Móstoles, sebuah klub yang bermarkas di 15 mil selatan pusat kota Madrid. 

Poves dipilih sebagai presiden klub tahun 2016 dan sukses membawa klub promosi ke Divisi Empat Liga Spanyol musim lalu. Di tengah popularitas klub yang terus meningkat, Poves mengambil keputsan untuk me-rebranding jati diri klub. Bukan sekadar rebranding, Poves mengubah nama klub menjadi Flat Earth FC!

Pemilihan nama Flat Earth FC memang bukan tanpa sebab. Poves percaya sepak bola bisa jadi kendaraan tepat baginya untuk mengkampanyekan teori bumi datar.

"Kami adalah klub sepak bola profesional dari Tercera Division di Spanyol. Kami dilahirkan untuk menyatukan suara jutaan pengikut gerakan bumi datar dan semua orang yang mencari jawaban dan kebenaran yang sejati (tentang bentuk bumi)," kata Poves, dilansir Marca.

Logo klub kini berganti menjadi bentuk bumi yang well....datar! Untuk maskot? Seorang astronot! Konspirasi tentang perjalanan manusia ke bulan mungkin jadi alasannya.

Flat Earth FC kini bukan cuma klub kasta keempat di sepak bola Spanyol saja. Sebabnya, mereka punya basis fans yang tersebar di seluruh dunia yang disatukan karena kepercayaan bumi datar. "Sungguh luar biasa menjadi bagian dari gerakan hebat ini," kata salah satu pemain Flat Earth, Mario Cardete, yang dikutip dari The Guardian.

Sepak bola kini bukan lagi sekadar gerakan politik seperti di era Benito Mussolini. Bukan juga sekadar wadah kaum kelas pekerja menyuarakan aspirasinya. Kini sepak bola sudah jadi bagian kampanye konspirasi hebat dalam diri Flat Earth FC!

Alban Lafont, Harapan Bawah Mistar Perancis!



28 November 2015, Toulouse menjamu OGC Nice di Stade Municipal. Tim tuan rumah sedang dalam kondisi terpuruk. Toulouse berada di urutan ke-19 klasemen sementara Liga Prancis dengan perolehan  9 poin dari 14 pertandingan. Belum lagi mereka cuma bisa meraih satu kemenangan serta 12 kali kebobolan. Berbagai catatan buruk itu, membuat tim asuhan Dominique Arribagé tak diunggulkan.

Alih-alih memainkan tim terbaiknya, Dominique Arribagé malah membuat ekperimen gila. Dua pemain akademi dipercaya menjalani debutnya saat itu. Issa Diop (18 tahun) mengisi posisi bek tengah dan Alban Lafont (16 tahun) berdiri di bawah mistar. Kehadiran keduanya mungkin bisa disebut sebagai "Youngest Defensive Duo" yang pernah ada di Liga Prancis.

Bagi Alban Lafont, itu bukanlah debut yang biasa. Di usia 16 tahun 310 hari, ia mencatatkan rekor sebagai kiper temuda di Liga Prancis mengalahkan Mickaël Landreau. Lebih spesial lagi, Lafont mampu mempertahankan gawangnya tidak kebobolan yang membuat Toulouse menang 2-0 atas OGC Nice. Di pertandingan selanjutnya, Alban Lafont kembali buktikan kemampuan. Melawan Troyes, Lafont mencatatkan nir bobol sekaligus membantu Toulouse menang 3-0. 

Sampai akhir musim 2015-2016, kiper kelahiran Burkina Faso itu dipercaya mengawal gawang Toulouse dalam 24 pertandingan serta meraih 8 kali nir bobol. Toulouse pun berhasil lolos dari zona degradasi pada pertandingan pamungkas.

Bagi para penggemar game virutal Football Manager, Alban Lafont tentunya bukanlah nama yang asing. Dalam seri Football Manager beberapa tahun terkahir, Alban Lafont selalu muncul sebagai pemain muda atau wonderkid dengan statistik mengkilap yang wajib dimiliki oleh para manager. 

Menjanjikan Sejak Muda



Alban Marc Lafont lahir di Ouagadougou, ibukota Burkina Faso pada 23 Januari 1999 dari ayah Prancis dan ibu Burkina Faso. Setelah orang tuanya bercerai, Lafont hijrah ke Prancis bersama sang ayah. Di sana, ia bergabung bersama akademi sepak bola amatir AS Lattoise pada tahun 2008. Awalnya Lafont berposisi sebagai gelandang serang sebelum akhirnya berpindah posisi menjadi seorang penjaga gawang. Dia menghabiskan waktu enam tahun sebelum direkrut oleh Toulouse pada 2014.

Musim pertamanya bersama Toulouse bisa dibilang sebagai pembuktian kelahiran calon bintang masa depan sepak bola. Bakat Lafont pun diakui oleh media terkemuka La Gazzetta dello Sport. Alban Lafont berada diurutan ke-34 sebagai "Pemain Terbaik di Bawah 20 Tahun" menurut media asal Italia tersebut. Lafont jadi satu-satunya kiper yang masuk daftar tersebut selain kiper AC Milan, Gianluigi Donnarumma.

Pada Februari 2018, Alban Lafont dinobatkan oleh CIES Football Observatory sebagai pemain sepak bola paling menjanjikan di bawah 20 tahun setelah Gianluigi Donnarumma. Alban Lafont mengalahkan Kylian Mpabbe yang berada di posisi ketiga.

Penampilan cemerlang Lafont bersama Toulouse pun turut mendapat banyak pujian, salah satunya berasal dari kiper legendaris Prancis Mickael Landreau. "Saya suka ketenangannya. Alban membuat keputusan dalam menghalau tembakan yang brilian dan posisinya sangat bagus. Karier yang hebat akan ia dapatnya," ujar pria yang sempat membela Nantes, PSG, dan Lille tersebut.

Alban Lafont dibekali postur tubuh tinggi. Membuatnya cukup piawai menghadang bola-bola atas. Kepercayaan diri yang dimilikinya pun menjadi modal besar saat berhadapan 1 lawan 1 dengan striker lawan. Namun satu hal yang membuat Lafont disebut-sebut sebagai kiper berbakat di generasi sekarang adalah refleksnya dalam membaca arah bola.

Salah satu penampilan gemilangnya bisa dilihat ketika Toulouse berhadapan dengan PSG. Edison Cavani dibuat mati kutu oleh Lafont. Pasanyal, dua kali Lafont melakukan penyelamatan dari blank spot hasil kreasi Cavani.

Petualangan di Italia



Seperti halnya para pemian muda di Liga Prancis, bakat Alban Lafont banyak menarik minta klub-klub top Eropa yang getol memburu calon bintang. Arsenal jadi salah satu klub yang kepicut. Meriam London memang sedang mengincar pemain yang berada di pos penjaga gawang sebagai penerus Petr Cech yang kala itu segera pensiun.

Bagi para pemain muda asal Prancis, Arsenal bisa dibilang sebagai tempat berlabuh yang tepat untuk mengasah kemampuan. Tak terhitung sudah berapa banyak bintang-bintang besar Prancis yang mekar bersama Meriam London. Sebut saja Patrick Vierra, Thierry Henry, Robert Pires, sampai yang paling anyar Matteo Guendouzi. Tak tekecuali dengan Alban Lafont yang punya keinginan kuat membela klub top Eropa.

Nasib berkata lain. Alih-alih pergi ke Inggris, Lafont pada akhirnya berlabuh di kota Florence. Fiorentina berhasil mendatangkan pemain Prancis tersebut dengan tranfers 8,5 juta euro atau setara 142 miliar rupiah pada Juli 2018. Fiorentina yang baru saja kehilangan Marco Sportiello, menjanjikan Alban Lafont tempat utama di bawah mistar gawang Artemio Franchi.

Kedatangan Alban Lafont membuat Serie A semakin menarik. Ini bisa jadi ajang pembuktian dua kiper muda berbakat. Pasalnya, Serie A sudah memiliki salah satu kiper muda paling menjanjikan dalam diri Gianluigi Donnarumma. Sejak menjalani debutnya sebagai pesepakbola profesional, dua nama kiper ini memang diprediksi akan jadi pemain masa depan. Bedanya Donnaruma mendapatkan spotlight lebih besar mengingat ia sudah bermain bersama AC Milan dan Timnas Italia.

Sayangnya, kehidupan Lafont di Italia tak berjalan manis. Meski selalu jadi pilihan utama di bawah mistar gawang Fiorentina,  Lafont belum bisa menunjukkan kemampuan terbaik seperti yang ia lakukan bersama Toulouse. Dari 34 pertandingan, Lafont hanya mencatatkan 9 kali nir bobol serta 40 kali kebobolan. Penampilan impresif Bartlomiej Dragowski yang dipinjamkan Fiorentina ke Empoli pun makin mengancam posisi Lafont.

Musim 2019-2020, Fiorentina meminjamkan Alban Lafont ke Nantes selama dua tahun dengan opsi pembelian. "Sejujurnya, saya sangat senang berada di Florence. Itu adalah kota yang indah dan selalu ada di hati saya. Saya merasa petualangan saya di sini sudah berakhir," ujar Lafont dikutip dari Firenzeviola.it.

"Sebenarnya, kembali ke Prancis bukanlah pilihan utama. Saya lebih ingin mencari pengalaman lain. Tapi pada akhirnya, saya memutuskan kembali ke Prancis di mana saya menunjukkan performa terbaik," lanjut Lafont.

Kini Alban Lafont kembali memulai petualangannya di Nantes, Prancis. Memulai kembali membangun reputasinya sebagai kiper paling menjanjikan di dunia.

Kenapa Permainan Sepak Bola Dimainkan 11 vs 11?



Dalam sebuah kesempatan, Garry Lineker pernah melontarkan penyataan menarik. "Sepak bola adalah permainan sederhana, 22 orang mengejar bola selama 90 menit dan pada akhirnya Jerman keluar sebagai pemenang," ujar mantan punggawa Timnas Inggris tersebut.

Bukan tanpa sebab, pasalnya ungkapan yang melegenda hingga sekarang itu ia lontarkan setelah Inggris lagi-lagi kalah dari Jerman pada semi final Piala Dunia 1990 di Italia.

Poin menarik dari ucapan Lineker yang mungkin tak banyak orang pikirkan sebelumnya adalah, mengapa sebuah pertandingan sepak bola harus dimainkan oleh 22 orang yang terbagi dalam dua tim? kenapa satu tim terdiri dari 11 orang? Dari mana aturan itu mulai diberlakukan?

Untuk menjawabnya, mungkin kita perlu mundur jauh ke belakang di mana sepak bola belum ditemukan.

Calcio Fiorentino



Sejarah bermula dari sebuah olahraga bernama Calcio Fiorentino yang sangat populer pada abad ke-16 di Italia. Calcio Fiorentino (atau kini disebut Calcio Storico) merupakan cikal bakal dari sepak bola dan rugbi. Bahkan kata Calcio kemudian diadopsi menjadi istilah sepak bola dalam bahasa Italia.

Setiap tim yang bertanding, terdiri dari....27 orang! di mana terdapat 5 orang yang bertugas sebagai penjaga gawang. Lucunya lagi, olahraga Calcio Fiorentino dimainkan di sebuah lapangan yang luasnya hampir mirip dengan lapangan sepak bola modern. Bisa dibayangkan betapa brutalnya 54 orang beradu untuk mencetak gol sebanyak-banyaknya.

Sepak bola modern kemudian berkembang di Inggris dengan menetapkan beberapa dasar yang membuat olahraga ini semakin digemari. Namun, belum ada aturan yang jelas terkait jumlah pemain. Biasanya setiap tim terdiri dari 15 sampai 21 orang. Hasilnya tensi pertandingan dan gesekan fisik antar pemian terjadi begitu intens.

Aturan Baku



Perubahan besar datang pada tahun 1879. Regulasi tentang penetapan jumlah pemain mulai diberlakukan. Antara lain, memutuskan bahwa setiap tim wajib memiliki satu penjaga gawang. Diputuskan juga jika harus ada 11 orang dalam satu tim. Bersamaan dengan itu, terjadi pemisahan yang jelas antara olahraga rugby dengan sepak bola (soccer). 

Lantas kenapa harus 11? Seperti kita ketahui, pajang lapangan sepak bola adalah 90 – 120 meter dan lebarnya 45-90 meter. Setelah melewati serangkaian uji coba dan pengamatan, didapatkan jika pergerakan 22 orang di atas lapangan akan lebih leluasa untuk menghindari tekanan lawan yang terlalu intens.

Jika pemain di atas lapangan kurang dari 22 orang, pemain akan cepat lelah. Sedangkan jika lebih dari 22 pemain, maka lapangan akan terasa sempit sehingga para pemain tidak leluasa bergerak.

Ada teori lain terkait alasan penetapan jumlah pemain sepak bola. Para manajer sepak bola kala itu menginginkan olahraga mereka sepopuler atau bahkan lebih populer dari kriket sehingga meniru jumlah pemainnya

Jika memang teori itu benar, maka kepopuleran olah raga sepak bola seperti sekarang mungkin saja karena jumlah pemain setiap timnya.

Belajar Ilmu Ikhlas dari Liga Belanda


Federasi Sepak Bola Belanda (KNVB) resmi menghentikan kompetisi Eredivisie pada jumat (24/4/2020) malam WIB. Keputusan ini diambil lantaran pemerintah setempat memperpanjang masa lockdown hingga 1 September 2020 mendatang.

Seperti liga-liga Eropa lainnya, terkecuali Liga Belarusia, Eredivisie terpaksa dihentikan sementara sejak 12 Maret 2020 atau setelah pekan ke-26 liga akibat pandemi virus corona. 

Sebenarnya sih, kompetisi tertinggi di Belanda tersebut akan kembali bergulir pada 30 Maret lalu. Namun setelah berkonsultasi dengan UEFA dan klub-klub peserta, KNVB mengambil langkah menghentikan jalannya kompetisi. Selain itu, Liga Belanda musim ini juga tak menghasilkan tim juara maupun degradasi. Nir juara ini untuk pertama kalinya terjadi sejak tahun 1945.

Padahal jika boleh jujur, peta persaingan sedang sengit-sengitnya. Ajax Amsterdam dan AZ Alkmaar sama-sama bercokol di posisi teratas dengan 56 poin. Ajax lebih unggul karena selisih gol, meski AZ Alkmaar dua kali mengalahkan Ajax baik kala bermain tandang maupun kandang.

Keputusan penghentian Liga Belanda pun cukup disayangkan oleh CEO Ajax Amsterdam, Edwin Van der Sar. "Sebagai pemain, tentu anda ingin menjadi juara dan membuktikannya di atas lapangan," ujarnya saat diwawancara Skysports. 

"Kami telah berada di peringkat pertama sepanjang musim dan sangat disayangkan tidak dinyatakan sebagai juara. Namun, dalam situasi sekarang keputusan ini bisa dipahami. Ada masalah yang jauh lebih penting daripada sepak bola," tambahnya.

Perdebatan yang Pantas Juara



Beda halnya dengan Van der Sar yang lebih legowo, bintang muda Ajax, Hakim Ziyech, merasa penghentian Liga menimbulkan perdebatan siapa yang layak jadi juara. "Liga Belanda tidak ada juara resmi. Tapi tentu jika saya memilih, Ajax layak dinobatkan sebagai juara," ujar pemain yang musim depan akan membela Chelsea tersebut. 

"Banyak cerita menyebut jika AZ Alkmar layak disebut sebagai juara karena mengalahkan kami dua kali. Tapi apakah perbedaan gol, seperti biasanya, tidak lagi dihitung? Omong kosong tentu saja," lanjut Ziyech mengungkapkan kekesalannya.

Rasa Kemanusiaan



Namun tak selamanya keputusan penghentian Liga di tengah jalan ini disambut negatif. Marc Overmars, yang kini menjabat sebagai direktur teknik Ajax Amsterdam, sejak jauh-jauh hari mengusulkan agar Eredivise dihentikan mengingat makin mengkhawatirkannya pandemi virus corona.

"Kenapa harus selalu tentang uang dan bukan kesejahteraan masyarakat pada saat sekarang ini? Saya berharap KNVB bisa mengambil keputusan yang independen, tetapi mereka sembunyi di balik UEFA," tutur Overmars.

Memang, disetopnya Liga di tengah jalan menimbulkan dampak negatif. Bukan cuma karena tidak melahirkan sang juara, tetapi juga kerugian materi yang cukup signifikan. Bayangkan saja, para klub harus kehilangan pemasukan dari penjualan tiket, hak siar televisi, sampai bonus kompetisi andai mereka juara

Di sisi lain, klub juga perlu memutar otak untuk terus menggaji para pemain, pelatih, sampai para staff yang berhubungan langsung dengan bisnis klub.

Tapi toh, sendaianya kompetisi tetap bergulir di tengah pandemi corona, bukan tak mungkin kerugian akan jauh lebih besar. Pertandingan sepak bola yang mengundangan banyak penonton untuk datang ke stadion menjadi sangat berisiko. Hingga kini, tak kurang ada 38 ribu kasus pasien positif corona di Belanda. Dengan memaksa melanjutkan sisa kompetisi, rasanya bukanlah suatu keputusan yang bijak.

Ilmu Ikhlas dari Liga Belanda



Entah kebetulan atau tidak, pada akhirnya KNVB selaku otoritas tertinggi sepak bola Belanda memilih untuk "mengikhlaskan" kompetisinya berakhir dini saat memasuki bulan suci Ramadan. Tepat di bulan penuh rahmat akan kebaikan.

Ilmu "mengikhlaskan" pun belakangan diikuti oleh Argentina. Federasi Sepak Bola Argentina (AFA) resmi meghentikan seluruh kompetisi profesionalnya pada Senin (27/4/2020) waktu setempat.

Pertanyannya, apakah liga-liga lain akan mengikuti jejak KNVB atau AFA untuk menghentikan kompetisi?

Mungkin andai ada klub yang ikhlas kembali tak meraih trofi liga domestik selama 30 tahun terakhir, bakal ada satu lagi kompetisi elit Eropa yang akan berhenti di tengah jalan.

Liga Belarusia, Oase Segar di Tengah Pandemi Corona



Lupakan sejenak hingar bingar kompetisi Premier League, lupakan pula european night Liga Champions yang kerap menghadirkan daya magis sendiri, karena sehebat apapun, semenarik apapun, segemerlap apapun, seluruh kompetisi elit eropa harus tumbang akibat pandemi virus corona (covid-19).

Dampak corona terhadap industri sepak bola memang begitu dahsyat. Turnamen besar seperti Piala Eropa hingga Copa America terpaksa mengatur ulang jadwalnya. Bahkan Liga Belanda sudah memutuskan jika kompetisi musim 2019/2020 resmi berakhir tanpa adanya tim juara dan degradasi.

Untungnya, para pecinta sepak bola tak perlu mati kutu karena kehilangan hiburan. Sebab, Belarusian Premier League jadi satu-satunya liga sepak bola Eropa yang tetap menjalankan kompetisi di tengah ancaman virus corona.

Presiden Belarusia, Alexander Lukashenko, masih belum mau mengintruksikan negaranya untuk melakukan lockdown besar-besaran meskipun terdapat 11 ribu kasus pasien positif corona hingga saat ini. Itu artinya, masyarakat Belarusia masih diperbolehkan beraktivitas secara normal, termasuk menggelar pertandingan sepak bola.

Alexander Lukashenko malah mengajak masyarakat Belarusia meminum dua gelas vodka sehari sebagai imun mencegah terjangkit corona.

Pro dan Kontra Liga Belarusia




Sebagai kompetisi satu-satunya yang masih berjalan, tentu menjadi berkah tersendiri bagi The Belarusian Premier League atau Liga Belarusia. Negara yang belum pernah ikut serta dalam turnamen sepak bola besar ini mendadak jadi "kiblat" para penikmat sepak bola di seluruh dunia. Fans yang haus akan hiburan, pada akhirnya menyalakan televisi atau mencari siaran streaming yang mepertandingkan klub-klub Belarusia. 

Sebelum pandemi, Liga Belarusia cuma bekerja sama dengan dua stasiun televisi. Tapi kini, mereka menyiarkan liganya langsung ke 10 negara berbeda! 

Meski menaikkan popularitas Liga Belarusia di mata dunia, kompetisi yang terus berjalan di tengah pandemi ini juga mendapat sentimen negatif dari suporter lokal. Mereka tak segan memboikot pertandingan sehingga membuat stadion terlihat kosong. Ketegangan terus meningkat ketika para penggemar saling mendesak untuk tetap di rumah.

Cara Jitu Klub Dynamo Brest



FC Dynamo Brest tak ambil pusing dengan sikap suporter lokal tersebut. Sang juara bertahan Liga Belarusia itu punya cara unik menarik penggemar di seluru dunia. Mereka menjual tiket virtual yang bukan cuma menawarkan Match Day Program saja tapi juga kesempatan untuk datang ke stadion. Caranya? Wajah para pemegang tiket ini akan di-print dan dijadikan sebuah topeng yang diletakkan di setiap kursi stadion, plus pernak-pernik khas seorang suporter.

Dalam beberapa pertandingan, stadion Dynamo Brest terlihat cukup unik dengan kehadiran para "suporter palsu" dari seluruh penjuru dunia yang berbaur dengan suporter lokal.

Serba-serbi Liga Belarusia



Belarusian Premier League resmi bergulir pada tahun 1993 setelah Belarusia memisahkan diri dari Uni Soviet dan menjadi negara yang merdeka. Diikuti oleh 16 tim yang bermain kandang dan tandang setiap musimnya, Liga Belarusia normalnya hanya menarik minat ratusan suporter saja yang datang ke stadion.

Dinamo Minsk adalah tim pertama yang mendominasi dengan menjuarai enam dari tujuh musim pertama Liga Belarusia.

Bagi kamu yang kerap memperhatikan tim kurcaci yang berlaga di Liga Champions, rasanya tak akan asing dengan nama BATE Borisov. Meraih 13 gelar dari musim 2006 hingga 2018, BATE merupakan tim langganan yang mewakili Belarusia di kancah Eropa.

Belarusia Premier League kini sudah memasuki pekan keenam, di mana Slutsk kokoh berada di puncak dengan raihan 13 poin. Sedangkan sang juara bertahan Dynamo Brest masih tertarih di urutan ke-14. Sementara tim tersukses di Liga Belarusia, BATE Borisov, berada di posisi ke-4.

Mengingat Liga Belarusia baru saja di mulai, tak ada salahnya bagi kamu menikmati pertandingan-pertandingan menarik di Belarusian Premier League selagi menunggu Liga-liga Eropa kembali bergulir.