Andre Schurrle dan Mereka yang Pensiun Terlalu Dini



Bagi sebagian orang, profesi sepak bola merupakan pilihan pekerjaan yang riskan. Tak seperti pegawai kantoran, pemain sepak bola memiliki jenjang karier yang cukup singkat. Rata-rata angka produktif para pemain sepak bola akan menurun jika telah memasuki usia 36 tahun ke atas. 

Ketahanan fisik adalah kunci utama para pesepak bola profesional demi menunjang performanya di lapangan. Tak ayal, ketika usia makin bertambah namun tidak diimbangi oleh fisik prima, siap-siap saja pintu keluar bernama pensiun menjadi pilih logis untuk diambil.

Andre Schurrle merupakan kasus terbaru dari ketatnya industri sepak bola belakangan ini. Di usia yang masih tergolong muda yakni 29 tahun, pemain yang membawa Jerman juara Piala Dunia 2014 itu memutuskan pensiun.

Melalui akun Instagramnya, Schurrle menuliskan salam perpisahannya. "Atas nama saya dan keluarga, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang menjadi bagian dari tahun-tahun yang fenomenal ini! Dukungan dan cinta yang kalian berikan luar biasa dan lebih dari yang pernah saya minta."

Nama Schurrle mencuat kala membela Mainz 05 dan Bayern Leverkusen. Chelsea kemudian memboyong pemuda kelahiran 6 November 1990 ke Stamford Bridge. Dua tahun di London, Schurrle cuma bermain sebanyak 44 kali dan mengemas 11 gol. Ia kemudian hijrah ke Wolfsburg sebelum akhirnya berlabuh bersama Dortmund.

Sayang, lagi-lagi Schurrle tak bisa menunjukkan performa terbaiknya. Sempat dipinjamkan ke Fulham dan Spartak Moscow, hingga akhirnya ia memilih untuk pensiun setelah Dortmund memutus kontraknya meski masih menyisakan durasi satu tahun.

Andre Schurrle hanyalah satu nama dari pesepak bola yang memilih gantung sepatu di usia yang terbilang dini. Beberapa lainnya adalah;

1. Marco van Basten



227 gol selama berkarier sebagai pesepak bola merupakan bukti bagaimana kehebatan Marco van Basten sebagai seorang striker. Periode 1980-an hingga akhir 1990-an van Basten adalah role model penyerang kelas satu. Punya kaki kiri dan kanan yang sama kuat, jago duel udara, dan ketenangannya dalam menyelesaikan peluang sekecil apapun, bikin ia diganjar tiga gelar Ballon d`Or dan satu gelar pemain terbaik FIFA.

Ajax, AC Milan dan Timnas Belanda mungkin cukup beruntung memiliki van Basten dalam timnya. Berbagai gelar mampu van Basten persembahkan untuk klub yang ia bela. Sayang, bakat besarnya itu terkendala cedera hebat yang ia alami di usia 28 tahun. Meski masih bisa bertahan, cedera pergelangan kaki, membuatnya harus memilih pensiun dini di usia 31 tahun.

2. Eric Cantona



Pada 18 Mei 1997 publik Old Trafford dibuat kaget akibat keputusan Eric Cantona pensiun dari dunia sepak bola. Bagaimana tidak, pemain bernomor 7 itu sedang berada di masa emasnya dan tidak terganggu masalah cedera. Di musim terakhirnya membela Manchester United, bahkan Cantona masih bisa mengoleksi 11 gol dan 12 assist.

Kekalahan atas Dortmund di semifinal Liga Champions 1996/1997 dikabarkan jadi alasan kuat Cantona memilih pensiun. Padahal jika Cantona masih mau melanjutkan karier sepak bolanya, minimal selama dua tahun, ia bisa jadi bagian skuat Manchester United meraih Treble Winner sekaligus mengantar Prancis jadi juara Piala Dunia 1998.

3. Carlos Roa



Jika kebanyakan pesepak bola memilih pensiun dini karena alasan cedera, beda halnya dengan Carlos Angel Roa. Kiper timnas Argentina di Piala Dunia 1998 ini memutuskan gantung sepatu akibat menganut seuatu kepercayaan.

Ya, Roa meyakini jika akan terjadi kiamat pada akhir tahun 1999. Alhasil, Roa tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Keluarga dan staff Mallorca, klub Roa kala itu, panik dengan perilaku Roa tersebut.

Padahal karier Carlos Roa sebenarnya sedang menanjak. Setelah tampil membela Argentina di Piala Dunia 1998, Roa punya kesempatan bergabung bersama Manchester United sebagai penerus Peter Schmeichel

4. Just Fontaine



Mungkin nama Just Fontaine cukup asing di telinga penggemar sepak bola. Padahal, pemain berkewarganegaraan Perancis itu punya rekor hebat yang rasanya sulit dipecahkan oleh siapapun. 

Sebelum hadirnya Ronaldo dan Miroslav Klose, Just Fontaine merupakan pemegang rekor pencetak gol terbanyak di Piala Dunia dengan 13 gol. Hebatnya, Just Fontaine cuma butuh satu gelaran Piala Dunia saja untuk mengemas seluruh golnya itu. Semuanya terjadi di Piala Dunia 1958 yang digelar di Swedia. 

Sayangnya, pada saat itu belum ada penghargaan khusus terhadap pemain yang paling banyak mencetak gol. Just Fontaine baru menerima Sepatu Emas 40 tahun kemudian yang diserahkan legenda Inggris, Gary Lineker.

Nama Just Fontaine memang tak setenar para top skor Piala Dunia lainnya. Mungkin salah satu alasannya karena karier Fontaine yang singkat. Pemain yang punya darah Maroko ini terpaksa pensiun dini di usia 27 tahun setelah dua kali mengalami patah tulang kaki.

5. Sebastian Deisler



Sebastian Deisler adalah pemain Jerman yang punya prospek cerah. Di usia 20 tahun, Deisler sudah membela timnas Jerman. Deisler juga merupakan pemain termuda yang masuk skuat Jerman dalam gelaran Piala Eropa 2000 di Belanda dan Belgia. 

Sayang, bakat besar sejak usia muda itu harus pupus akibat cedera berkepanjangan. Akibatnya, Deisler merasa depresi dan tak pernah lagi mempercayai kakinya untuk terus bermain sepak bola. Sebastian Deisler memutuskan gantung sepatu di usia 27 tahun ketika membela Bayern Munich.

6. Hidetoshi Nakata



Di media 90-an, tak banyak pesepak bola asal Asia yang bisa merumput di liga-liga Eropa. Satu nama yang mungkin merepresentasikan Asia di industri sepak bola kala itu tak lain adalah Hidetoshi Nakata. Pemain Jepang ini berhasil menjalani debut manisnya bersama Perugia. 

1,5 tahun berselang, sinar Nakata makin gemerlap setelah pindah ke AS Roma. Ia mampu mempersembahkan Scudetto untuk Roma pada musim 2000/2001. 

David Beckham versi Asia ini juga sempat merumput di beberapa klub seperti Fiorentina, Parma, Bologna, dan Bolton, sebelum akhirnya memilih pensiun di usia 29 tahun.

Nakata punya alasan kuat gantung sepatu di usia yang masih produktif untuk ukuran pesepak bola. 

"Ketika saya lahir saya tidak dilahirkan untuk menjadi pemain sepak bola, saya dilahirkan untuk menjadi diri saya sendiri," ucap Nakata.

"Jadi sepak bola hanya gairah saya. Saya tidak melihat sepak bola sebagai karier atau impian saya," imbuhnya, dikutip SportFEAT.com dari SCMP.com.

7. David Bentley



Jika sudah tak cinta, untuk apa dilanjutkan. Mungkin ungkapan itu sangat tepat ditunjukkan kepada David Bentley. Pemain yang sempat dijuluki The Next David Beckham karena memiliki akurasi umpan yang presisi ini memutuskan gantung sepatu karena tak lagi memiliki gairah saat bermain sepak bola. 

Berada di puncak karier kala merumput bersama Spurs, Bentley mengakhiri kariernya pada tahun 2013 setelah membela beberapa klub seperti Birmingham City, West Ham United, Blackburn hingga klub Rusia, FC Rostov.

"Sekarang semuanya seperti robot mulai dari sisi media sosial hingga uang yang dihasilkan di pertandingan. Saya benci mengatakannya, tapi itu membuatnya membosankan dan mudah diprediksi. Untuk bermain tiga atau empat tahun lagi bukan pilihan tepat bagi saya," ujar pemain yang pensiun di usia 29 tahun tersebut seperti dikutip dari The Guardian.

Flat Earth FC, Bola Memang Bulat tapi Tidak dengan Bumi!




Dalam salah satu video channel YouTube-nya, Deddy Corbuzier mengundang Young Lex untuk berbincang-bincang. Meski Young Lex dikenal sebagai seorang rapper, tapi bukan itu yang jadi tajuk utama pembicaraan. 

Jauh dari obrolan tentang musik, Deddy Corbuzier dan Young Lex berdebat seru tentang teori konspirasi di balik pandemi virus corona. Seru yang saya maksud, karena obrolan tentang teori konspirasi itu jadi bahan diskusi di berbagai media sosial. 

Ada yang percaya jika pandemi corona berasal dari teori konspirasi, ada pula orang-orang yang beranggapan cakap-cakap mereka cumalah omongan sampah. Ya, seperti lazimnya teori konspirasi, pada akhirnya akan selalu menimbulkan perdebatan mana yang benar dan mana yang salah.

Oxford English Dictionary menjelaskan teori konspirasi adalah suatu teori, bahwa kejadian atau gejala timbul sebagai hasil konspirasi antara pihak-pihak yang berkepentingan, dan adanya suatu lembaga yang bertanggungjawab atas kejadian yang tak bisa dijelaskan.

Teori konspirasi memang sudah ada sejak zaman dulu. Momen bersejarah Neil Amstrong menginjakkan kaki di bulan mungkin jadi salah satu teori konspirasi paling seksi yang terus dibahas sampai sekarang. Apalagi berkat kemajuan dunia teknologi, membuat arus informasi makin deras bak pupuk yang menyuburkan macam-macam teori konspirasi.

Jika Deddy Corbuzier dan Young Lex masih mendebatkan teori konspirasi di internet, Javi Poves memilih jalan yang lebih ekstream. Kepercayaannya terhadap teori bumi datar, mendorongnya membentuk sebuah tim sepak bola bernama...... Flat Earth FC!

Sepak Terjang Javi Poves 




Sebelum jauh membahas Flat Earth FC, mari kita cari tahu dulu siapa Javi Poves. Ia termasuk pesepak bola muda yang menjanjikan. Tumbuh besar di kota Madrid, Poves menimba ilmu di akademi sepak bola Atletico Madrid dan Rayo Vallecano sebelum akhirnya direkrut Sporting Gijon. 

Pemain yang berposisi sebagai bek tengah itu menjalani debut di La Liga dalam pertandingan terakhir musim 2010-2011. Ia lalu memilih pensiun dini setelah cuma menjalani satu pertandingan itu bersama Sporting Gijon. Usianya baru 23 tahun kala itu.

Idealisme dalam diri Javi Poves yang membuatnya pergi meninggalkan sepak bola. "Apa yang saya lihat semakin jelas. Sepak bola profesional hanyalah tentang uang dan korupsi. Ini kapitalisme, dan kapitalisme adalah kematian," ucap Poves. 

"Saya tidak ingin menjadi bagian dari sistem yang didasarkan pada orang yang menghasilkan uang dengan mengorbankan kematian orang lain di Amerika Selatan, Afrika dan Asia. Sederhananya, hati nurani saya tidak akan membiarkan saya melanjutkan ini," lanjutnya.

Javi Poves meninggalkan sepak bola sehingga bisa menjalani kehidupan yang "bersih". Ia memutuskan berkeliling dunia. Poves tidak bisa menerima bagaimana sistem kapitalis bekerja dalam industri sepak bola, namun ia tak naif tentang bagaimana uang bekerja. 

Dia mengatur keuangannya dengan menggunakan 1.000 Euro per bulan yang dia dapatkan dari menyewakan apartemen di Madrid sehingga bisa membiayai perjalannya.

Javi Poves menghabiskan lima tahun hidup di sudut paling tidak jelas di dunia, termasuk Iran, Venezuela, Kyoto, Novosibirsk, Buenos Aires, hingga Senegal di mana ia terjangkit malaria.

Kembali ke Sepak Bola




Sejauh-jauhnya ia berpergian, ternyata tak bisa mengalahkan cintanya terhadap sepak bola. Poves kembali ke sepakbola bersama klub SS Reyes sebelum akhirnya menemukan CD Móstoles, sebuah klub yang bermarkas di 15 mil selatan pusat kota Madrid. 

Poves dipilih sebagai presiden klub tahun 2016 dan sukses membawa klub promosi ke Divisi Empat Liga Spanyol musim lalu. Di tengah popularitas klub yang terus meningkat, Poves mengambil keputsan untuk me-rebranding jati diri klub. Bukan sekadar rebranding, Poves mengubah nama klub menjadi Flat Earth FC!

Pemilihan nama Flat Earth FC memang bukan tanpa sebab. Poves percaya sepak bola bisa jadi kendaraan tepat baginya untuk mengkampanyekan teori bumi datar.

"Kami adalah klub sepak bola profesional dari Tercera Division di Spanyol. Kami dilahirkan untuk menyatukan suara jutaan pengikut gerakan bumi datar dan semua orang yang mencari jawaban dan kebenaran yang sejati (tentang bentuk bumi)," kata Poves, dilansir Marca.

Logo klub kini berganti menjadi bentuk bumi yang well....datar! Untuk maskot? Seorang astronot! Konspirasi tentang perjalanan manusia ke bulan mungkin jadi alasannya.

Flat Earth FC kini bukan cuma klub kasta keempat di sepak bola Spanyol saja. Sebabnya, mereka punya basis fans yang tersebar di seluruh dunia yang disatukan karena kepercayaan bumi datar. "Sungguh luar biasa menjadi bagian dari gerakan hebat ini," kata salah satu pemain Flat Earth, Mario Cardete, yang dikutip dari The Guardian.

Sepak bola kini bukan lagi sekadar gerakan politik seperti di era Benito Mussolini. Bukan juga sekadar wadah kaum kelas pekerja menyuarakan aspirasinya. Kini sepak bola sudah jadi bagian kampanye konspirasi hebat dalam diri Flat Earth FC!

Alban Lafont, Harapan Bawah Mistar Perancis!



28 November 2015, Toulouse menjamu OGC Nice di Stade Municipal. Tim tuan rumah sedang dalam kondisi terpuruk. Toulouse berada di urutan ke-19 klasemen sementara Liga Prancis dengan perolehan  9 poin dari 14 pertandingan. Belum lagi mereka cuma bisa meraih satu kemenangan serta 12 kali kebobolan. Berbagai catatan buruk itu, membuat tim asuhan Dominique Arribagé tak diunggulkan.

Alih-alih memainkan tim terbaiknya, Dominique Arribagé malah membuat ekperimen gila. Dua pemain akademi dipercaya menjalani debutnya saat itu. Issa Diop (18 tahun) mengisi posisi bek tengah dan Alban Lafont (16 tahun) berdiri di bawah mistar. Kehadiran keduanya mungkin bisa disebut sebagai "Youngest Defensive Duo" yang pernah ada di Liga Prancis.

Bagi Alban Lafont, itu bukanlah debut yang biasa. Di usia 16 tahun 310 hari, ia mencatatkan rekor sebagai kiper temuda di Liga Prancis mengalahkan Mickaël Landreau. Lebih spesial lagi, Lafont mampu mempertahankan gawangnya tidak kebobolan yang membuat Toulouse menang 2-0 atas OGC Nice. Di pertandingan selanjutnya, Alban Lafont kembali buktikan kemampuan. Melawan Troyes, Lafont mencatatkan nir bobol sekaligus membantu Toulouse menang 3-0. 

Sampai akhir musim 2015-2016, kiper kelahiran Burkina Faso itu dipercaya mengawal gawang Toulouse dalam 24 pertandingan serta meraih 8 kali nir bobol. Toulouse pun berhasil lolos dari zona degradasi pada pertandingan pamungkas.

Bagi para penggemar game virutal Football Manager, Alban Lafont tentunya bukanlah nama yang asing. Dalam seri Football Manager beberapa tahun terkahir, Alban Lafont selalu muncul sebagai pemain muda atau wonderkid dengan statistik mengkilap yang wajib dimiliki oleh para manager. 

Menjanjikan Sejak Muda



Alban Marc Lafont lahir di Ouagadougou, ibukota Burkina Faso pada 23 Januari 1999 dari ayah Prancis dan ibu Burkina Faso. Setelah orang tuanya bercerai, Lafont hijrah ke Prancis bersama sang ayah. Di sana, ia bergabung bersama akademi sepak bola amatir AS Lattoise pada tahun 2008. Awalnya Lafont berposisi sebagai gelandang serang sebelum akhirnya berpindah posisi menjadi seorang penjaga gawang. Dia menghabiskan waktu enam tahun sebelum direkrut oleh Toulouse pada 2014.

Musim pertamanya bersama Toulouse bisa dibilang sebagai pembuktian kelahiran calon bintang masa depan sepak bola. Bakat Lafont pun diakui oleh media terkemuka La Gazzetta dello Sport. Alban Lafont berada diurutan ke-34 sebagai "Pemain Terbaik di Bawah 20 Tahun" menurut media asal Italia tersebut. Lafont jadi satu-satunya kiper yang masuk daftar tersebut selain kiper AC Milan, Gianluigi Donnarumma.

Pada Februari 2018, Alban Lafont dinobatkan oleh CIES Football Observatory sebagai pemain sepak bola paling menjanjikan di bawah 20 tahun setelah Gianluigi Donnarumma. Alban Lafont mengalahkan Kylian Mpabbe yang berada di posisi ketiga.

Penampilan cemerlang Lafont bersama Toulouse pun turut mendapat banyak pujian, salah satunya berasal dari kiper legendaris Prancis Mickael Landreau. "Saya suka ketenangannya. Alban membuat keputusan dalam menghalau tembakan yang brilian dan posisinya sangat bagus. Karier yang hebat akan ia dapatnya," ujar pria yang sempat membela Nantes, PSG, dan Lille tersebut.

Alban Lafont dibekali postur tubuh tinggi. Membuatnya cukup piawai menghadang bola-bola atas. Kepercayaan diri yang dimilikinya pun menjadi modal besar saat berhadapan 1 lawan 1 dengan striker lawan. Namun satu hal yang membuat Lafont disebut-sebut sebagai kiper berbakat di generasi sekarang adalah refleksnya dalam membaca arah bola.

Salah satu penampilan gemilangnya bisa dilihat ketika Toulouse berhadapan dengan PSG. Edison Cavani dibuat mati kutu oleh Lafont. Pasanyal, dua kali Lafont melakukan penyelamatan dari blank spot hasil kreasi Cavani.

Petualangan di Italia



Seperti halnya para pemian muda di Liga Prancis, bakat Alban Lafont banyak menarik minta klub-klub top Eropa yang getol memburu calon bintang. Arsenal jadi salah satu klub yang kepicut. Meriam London memang sedang mengincar pemain yang berada di pos penjaga gawang sebagai penerus Petr Cech yang kala itu segera pensiun.

Bagi para pemain muda asal Prancis, Arsenal bisa dibilang sebagai tempat berlabuh yang tepat untuk mengasah kemampuan. Tak terhitung sudah berapa banyak bintang-bintang besar Prancis yang mekar bersama Meriam London. Sebut saja Patrick Vierra, Thierry Henry, Robert Pires, sampai yang paling anyar Matteo Guendouzi. Tak tekecuali dengan Alban Lafont yang punya keinginan kuat membela klub top Eropa.

Nasib berkata lain. Alih-alih pergi ke Inggris, Lafont pada akhirnya berlabuh di kota Florence. Fiorentina berhasil mendatangkan pemain Prancis tersebut dengan tranfers 8,5 juta euro atau setara 142 miliar rupiah pada Juli 2018. Fiorentina yang baru saja kehilangan Marco Sportiello, menjanjikan Alban Lafont tempat utama di bawah mistar gawang Artemio Franchi.

Kedatangan Alban Lafont membuat Serie A semakin menarik. Ini bisa jadi ajang pembuktian dua kiper muda berbakat. Pasalnya, Serie A sudah memiliki salah satu kiper muda paling menjanjikan dalam diri Gianluigi Donnarumma. Sejak menjalani debutnya sebagai pesepakbola profesional, dua nama kiper ini memang diprediksi akan jadi pemain masa depan. Bedanya Donnaruma mendapatkan spotlight lebih besar mengingat ia sudah bermain bersama AC Milan dan Timnas Italia.

Sayangnya, kehidupan Lafont di Italia tak berjalan manis. Meski selalu jadi pilihan utama di bawah mistar gawang Fiorentina,  Lafont belum bisa menunjukkan kemampuan terbaik seperti yang ia lakukan bersama Toulouse. Dari 34 pertandingan, Lafont hanya mencatatkan 9 kali nir bobol serta 40 kali kebobolan. Penampilan impresif Bartlomiej Dragowski yang dipinjamkan Fiorentina ke Empoli pun makin mengancam posisi Lafont.

Musim 2019-2020, Fiorentina meminjamkan Alban Lafont ke Nantes selama dua tahun dengan opsi pembelian. "Sejujurnya, saya sangat senang berada di Florence. Itu adalah kota yang indah dan selalu ada di hati saya. Saya merasa petualangan saya di sini sudah berakhir," ujar Lafont dikutip dari Firenzeviola.it.

"Sebenarnya, kembali ke Prancis bukanlah pilihan utama. Saya lebih ingin mencari pengalaman lain. Tapi pada akhirnya, saya memutuskan kembali ke Prancis di mana saya menunjukkan performa terbaik," lanjut Lafont.

Kini Alban Lafont kembali memulai petualangannya di Nantes, Prancis. Memulai kembali membangun reputasinya sebagai kiper paling menjanjikan di dunia.

Kenapa Permainan Sepak Bola Dimainkan 11 vs 11?



Dalam sebuah kesempatan, Garry Lineker pernah melontarkan penyataan menarik. "Sepak bola adalah permainan sederhana, 22 orang mengejar bola selama 90 menit dan pada akhirnya Jerman keluar sebagai pemenang," ujar mantan punggawa Timnas Inggris tersebut.

Bukan tanpa sebab, pasalnya ungkapan yang melegenda hingga sekarang itu ia lontarkan setelah Inggris lagi-lagi kalah dari Jerman pada semi final Piala Dunia 1990 di Italia.

Poin menarik dari ucapan Lineker yang mungkin tak banyak orang pikirkan sebelumnya adalah, mengapa sebuah pertandingan sepak bola harus dimainkan oleh 22 orang yang terbagi dalam dua tim? kenapa satu tim terdiri dari 11 orang? Dari mana aturan itu mulai diberlakukan?

Untuk menjawabnya, mungkin kita perlu mundur jauh ke belakang di mana sepak bola belum ditemukan.

Calcio Fiorentino



Sejarah bermula dari sebuah olahraga bernama Calcio Fiorentino yang sangat populer pada abad ke-16 di Italia. Calcio Fiorentino (atau kini disebut Calcio Storico) merupakan cikal bakal dari sepak bola dan rugbi. Bahkan kata Calcio kemudian diadopsi menjadi istilah sepak bola dalam bahasa Italia.

Setiap tim yang bertanding, terdiri dari....27 orang! di mana terdapat 5 orang yang bertugas sebagai penjaga gawang. Lucunya lagi, olahraga Calcio Fiorentino dimainkan di sebuah lapangan yang luasnya hampir mirip dengan lapangan sepak bola modern. Bisa dibayangkan betapa brutalnya 54 orang beradu untuk mencetak gol sebanyak-banyaknya.

Sepak bola modern kemudian berkembang di Inggris dengan menetapkan beberapa dasar yang membuat olahraga ini semakin digemari. Namun, belum ada aturan yang jelas terkait jumlah pemain. Biasanya setiap tim terdiri dari 15 sampai 21 orang. Hasilnya tensi pertandingan dan gesekan fisik antar pemian terjadi begitu intens.

Aturan Baku



Perubahan besar datang pada tahun 1879. Regulasi tentang penetapan jumlah pemain mulai diberlakukan. Antara lain, memutuskan bahwa setiap tim wajib memiliki satu penjaga gawang. Diputuskan juga jika harus ada 11 orang dalam satu tim. Bersamaan dengan itu, terjadi pemisahan yang jelas antara olahraga rugby dengan sepak bola (soccer). 

Lantas kenapa harus 11? Seperti kita ketahui, pajang lapangan sepak bola adalah 90 – 120 meter dan lebarnya 45-90 meter. Setelah melewati serangkaian uji coba dan pengamatan, didapatkan jika pergerakan 22 orang di atas lapangan akan lebih leluasa untuk menghindari tekanan lawan yang terlalu intens.

Jika pemain di atas lapangan kurang dari 22 orang, pemain akan cepat lelah. Sedangkan jika lebih dari 22 pemain, maka lapangan akan terasa sempit sehingga para pemain tidak leluasa bergerak.

Ada teori lain terkait alasan penetapan jumlah pemain sepak bola. Para manajer sepak bola kala itu menginginkan olahraga mereka sepopuler atau bahkan lebih populer dari kriket sehingga meniru jumlah pemainnya

Jika memang teori itu benar, maka kepopuleran olah raga sepak bola seperti sekarang mungkin saja karena jumlah pemain setiap timnya.

Belajar Ilmu Ikhlas dari Liga Belanda


Federasi Sepak Bola Belanda (KNVB) resmi menghentikan kompetisi Eredivisie pada jumat (24/4/2020) malam WIB. Keputusan ini diambil lantaran pemerintah setempat memperpanjang masa lockdown hingga 1 September 2020 mendatang.

Seperti liga-liga Eropa lainnya, terkecuali Liga Belarusia, Eredivisie terpaksa dihentikan sementara sejak 12 Maret 2020 atau setelah pekan ke-26 liga akibat pandemi virus corona. 

Sebenarnya sih, kompetisi tertinggi di Belanda tersebut akan kembali bergulir pada 30 Maret lalu. Namun setelah berkonsultasi dengan UEFA dan klub-klub peserta, KNVB mengambil langkah menghentikan jalannya kompetisi. Selain itu, Liga Belanda musim ini juga tak menghasilkan tim juara maupun degradasi. Nir juara ini untuk pertama kalinya terjadi sejak tahun 1945.

Padahal jika boleh jujur, peta persaingan sedang sengit-sengitnya. Ajax Amsterdam dan AZ Alkmaar sama-sama bercokol di posisi teratas dengan 56 poin. Ajax lebih unggul karena selisih gol, meski AZ Alkmaar dua kali mengalahkan Ajax baik kala bermain tandang maupun kandang.

Keputusan penghentian Liga Belanda pun cukup disayangkan oleh CEO Ajax Amsterdam, Edwin Van der Sar. "Sebagai pemain, tentu anda ingin menjadi juara dan membuktikannya di atas lapangan," ujarnya saat diwawancara Skysports. 

"Kami telah berada di peringkat pertama sepanjang musim dan sangat disayangkan tidak dinyatakan sebagai juara. Namun, dalam situasi sekarang keputusan ini bisa dipahami. Ada masalah yang jauh lebih penting daripada sepak bola," tambahnya.

Perdebatan yang Pantas Juara



Beda halnya dengan Van der Sar yang lebih legowo, bintang muda Ajax, Hakim Ziyech, merasa penghentian Liga menimbulkan perdebatan siapa yang layak jadi juara. "Liga Belanda tidak ada juara resmi. Tapi tentu jika saya memilih, Ajax layak dinobatkan sebagai juara," ujar pemain yang musim depan akan membela Chelsea tersebut. 

"Banyak cerita menyebut jika AZ Alkmar layak disebut sebagai juara karena mengalahkan kami dua kali. Tapi apakah perbedaan gol, seperti biasanya, tidak lagi dihitung? Omong kosong tentu saja," lanjut Ziyech mengungkapkan kekesalannya.

Rasa Kemanusiaan



Namun tak selamanya keputusan penghentian Liga di tengah jalan ini disambut negatif. Marc Overmars, yang kini menjabat sebagai direktur teknik Ajax Amsterdam, sejak jauh-jauh hari mengusulkan agar Eredivise dihentikan mengingat makin mengkhawatirkannya pandemi virus corona.

"Kenapa harus selalu tentang uang dan bukan kesejahteraan masyarakat pada saat sekarang ini? Saya berharap KNVB bisa mengambil keputusan yang independen, tetapi mereka sembunyi di balik UEFA," tutur Overmars.

Memang, disetopnya Liga di tengah jalan menimbulkan dampak negatif. Bukan cuma karena tidak melahirkan sang juara, tetapi juga kerugian materi yang cukup signifikan. Bayangkan saja, para klub harus kehilangan pemasukan dari penjualan tiket, hak siar televisi, sampai bonus kompetisi andai mereka juara

Di sisi lain, klub juga perlu memutar otak untuk terus menggaji para pemain, pelatih, sampai para staff yang berhubungan langsung dengan bisnis klub.

Tapi toh, sendaianya kompetisi tetap bergulir di tengah pandemi corona, bukan tak mungkin kerugian akan jauh lebih besar. Pertandingan sepak bola yang mengundangan banyak penonton untuk datang ke stadion menjadi sangat berisiko. Hingga kini, tak kurang ada 38 ribu kasus pasien positif corona di Belanda. Dengan memaksa melanjutkan sisa kompetisi, rasanya bukanlah suatu keputusan yang bijak.

Ilmu Ikhlas dari Liga Belanda



Entah kebetulan atau tidak, pada akhirnya KNVB selaku otoritas tertinggi sepak bola Belanda memilih untuk "mengikhlaskan" kompetisinya berakhir dini saat memasuki bulan suci Ramadan. Tepat di bulan penuh rahmat akan kebaikan.

Ilmu "mengikhlaskan" pun belakangan diikuti oleh Argentina. Federasi Sepak Bola Argentina (AFA) resmi meghentikan seluruh kompetisi profesionalnya pada Senin (27/4/2020) waktu setempat.

Pertanyannya, apakah liga-liga lain akan mengikuti jejak KNVB atau AFA untuk menghentikan kompetisi?

Mungkin andai ada klub yang ikhlas kembali tak meraih trofi liga domestik selama 30 tahun terakhir, bakal ada satu lagi kompetisi elit Eropa yang akan berhenti di tengah jalan.