Kenapa Penjaga Gawang Meludah ke Sarung Tangan?

Jika kamu berkunjung ke negara Singapura lalu kedapatan meludah sembarangan, jangan kaget jika kamu akan dikenai denda $1.000 atau sekitar Rp 136 juta. Untungnya, aturan tersebut hanya berlaku di Singapura bukan di lapangan sepak bola. Entah berapa ratus juta yang perlu dikeluarkan bagi penjaga gawang yang ketahuan meludah ke sarung tangannya.

Dalam pertandingan sepak bola, hal yang lumrah jika kita sering melihat seorang penjaga gawang yang dengan sengaja meludah ke sarung tangannya. Biasanya, tindakan ini dilakukan saat sang kiper akan menghadapi bola-bola mati atau bersiap menerima serangan dari tim lawan.


Berbeda dengan pemain lain, peran penjaga gawang boleh dikatakan spesial. Ia jadi satu-satunya orang yang diperbolehkan memegang si kulit bundar saat permainan masih berlangsung. 


Penjaga gawang pun diwajibkan mengenakan sarung tangan sebagai salah satu prosedur keselamatan. Selain untuk melindungi tangan ketika menahan hempasan tendangan lawan, sarung tangan juga berfungsi membuat tangkapan lebih lengket ketika menerima bola.


Sudah menjadi rahasia umum jika penjaga gawang tertangkap kamera sedang meludah ke sarung tangannya. Konon, hal itu akan membuat sarung tangan makin lengket sehingga memudahkan menangkap bola. Namun, benarkah saliva atau air liur memiliki pengaruh bagi penampilan sang penjaga gawang?


Pada dasarnya, sarung tangan didesain agak kaku dan keras supaya cukup kuat untuk menahan bola-bola kencang. Sarung tangan kiper biasanya terbuat dari busa sintetis dengan struktur mikroskopis bagaikan penyedot yang pada gilirannya seperti jutaan cangkir isap kecil.


Tak aneh, di tengah pertandingan, sarung tangan yang kaku membuat tangan penjaga gawang menjadi kurang nyaman. Solusinya, penjaga gawang akan meludahi sarungan tangannya dengan tujuan supaya air liur dapat membasahi permukaan busa sehingga memiliki daya cengkeram yang lebih tinggi.


Alasan memilih untuk meludah ke sarung tangan cukup wajar mengingat penjaga gawang cukup kesulitan mengakses air ketika sudah bertanding. Biasanya, penjaga gawang akan mencuci sarung tangannya sebelum pertandingan dan berharap kelembaban tetap terjaga ketika laga dimulai.


Pendapat lain menyebut jika meludah ke sarung tangan hanyalah tindakan reflek karena kebiasaan dari penjaga gawang ketika akan menerima serangan lawan atau dari set piece dan penalti. Hal ini bisa terjadi karena penjaga gawang junior melihat senior-seniornya melakukan tindakan tersebut dan mulai ikut-ikutan. Meludah ke sarung tangan pun menjadi kebiasaan setiap penjaga gawang. 


Jika melihat dari kacamata kesehatan, tentu meludahi sarung tangan sangat tidak higienis. Air liur yang memiliki banyak kandungan kuman itu, pada akhirnya memberi dampak buruk baik teman, lawan, atau bahkan diri sendiri, mengingat air ludah berpindah ke bola yang digunakan. Meludah ke sarung tangan juga, berakibat sarung tangan menjadi bau dan perlu sering-sering untuk dicuci.


Di tengah pandemi covid-19 seperti sekarang, rasanya kebiasaan meludah ke sarung tangan perlu dihilangkan. Apalagi FIFA selaku induk organisasi tertinggi di sepak bola sempat memberi larangan keras bagi setiap pemain untuk meludah di lapangan. Sayangnya, aturan ini tidak berlaku secara tegas dan dianggap angin lalu.


Mengenal Aturan Enam Detik Bagi Penjaga Gawang


Liverpool menjamu Girondins de Bordeaux di Anfield dalam laga penentu grup B Liga Eropa musim 2015/2016. Bermain di kandang sendiri, The Reds mampu menaklukan sang tamu 2-1 lewat gol penalti James Miller dan Christian Benteke. Hasil itu sudah cukup mengantar Liverpool lolos ke babak selanjutnya. Namun, bukan itu saja yang menjadi topik utama dari pertandingan ini. Proses gol Bordeaux yang dicetak Henri Saivet malah menimbulkan perdebatan tentang aturan enam detik bagi penjaga gawang.

Bordeaux mendapat tendangan bebas tidak langsung di dalam kotak penalti Liverpool setelah wasit Alon Yefet memutuskan jika Simon Mignolet melanggar aturan enam detik. Jika diperhatikan, sebenarnya Mignolet menguasai bola dengan tangan di dalam kotak penaltinya sendiri selama 21 detik! Eksekusi tendangan bebas tak langsung di dalam kotak penalti berhasil dikonversi menjadi gol lewat sepakan keras Henri Saivet.

Apa Itu Aturan Enam Detik


Bagi banyak penggemar sepak bola, mungkin kurang familiar dengan aturan enam detik yang diberlakukan khusus bagi penjaga gawang. Selain memang jarang terjadi, aturan ini dianggap tak terlalu tegas untuk diberlakukan. Wasit yang memimpin jalannya pertandingan, kerap menoleransi aksi penjaga gawang yang sedang mengulur-ulur waktu ketika bola berada di tangannya.


Berbeda dengan olahraga futsal, penjaga gawang tidak boleh menguasai bola lebih dari empat detik baik itu ketika bola berada di tangan maupun kakinya. Wasit pun akan langsung mengangkat tangan sambil berhitung jumlah detik yang sudah dihabiskan penjaga gawang selama bola berada dalam penguasaannya.


The six second rule atau aturan enam detik terdapat dalam aturan FIFA Law 12 yang menyatakan penjaga gawang dilarang mengontrol bola dengan tangan lebih dari enam detik. Jika aturan itu dilanggar, maka tim lawan berhak mendapat tendangan bebas tidak langsung di dalam kotak penalti.


Aturan yang diberlakukan sejak tahun 1998 ini bertujuan agar penjaga gawang yang memiliki privilege untuk menguasai bola dengan tangannya tidak membuang-buang waktu.


Mengapa aturan ini jarang dipraktekan


Jika memang aturan enam detik ini tertulis dalam law of the game FIFA, lantas kenapa jarang sekali wasit meniup peluit ketika ada penjaga gawang yang berlama-lama dengan bola yang berada di tangannya? Untuk menjawab hal tersebut, perlu diketahui jika aturan enam detik ini tidak berlaku dalam beberapa kondisi.


Seperti sempat disinggung sebelumnya, aturan enam detik di sepak bola sedikit berbeda dengan aturan empat detik dalam futsal. Meski kedua aturan ini sama-sama membatasi durasi penjaga gawang dalam menguasai bola, tapi dalam penentuan kapan perhitungan waktunya ada perbedaan.


Dalam futsal, aturan tersebut langsung berlaku ketika penjaga gawang menguasai bola baik itu dengan kaki maupun tangan. Dalam sepak bola, aturan enam detik tidak berlaku jika penjaga gawang masih mendapat gangguan dari pemain lawan. Misalnya masih ada pemain lawan yang berdiri di dalam kotak penalti sehingga menyulitkan penjaga gawang untuk melepas bola.


Aturan enam detik juga tidak berlaku ketika penjaga gawang baru saja memeluk bola dalam posisi telungkup meskipun tidak ada pemain lawan di dalam kotak penalti. Saat penjaga gawang berdiri, baru aturan enam detik mulai berjalan.


Inilah yang membuat aturan enam detik untuk penjaga gawang masih banyak diperdebatkan. Pasalnya, hanya wasit yang bisa menilai kapan aturan enam detik ini mulai berlaku bagi penjaga gawang yang sedang memegang bola. 


Dalam US Soccer, Law 12.8, disebutkan sebelum menghukum penjaga gawang karena melanggar batas waktu enam detik, wasit harus memperingatkan penjaga gawang tentang tindakan tersebut dan kemudian harus menghukum pelanggaran hanya jika penjaga gawang terus membuang waktu atau melakukan pelanggaran serupa lagi di kemudian hari dalam pertandingan.


Pentingkah aturan enam detik


Simon Mignolet adalah satu dari sedikit kasus penjaga gawang yang melanggar aturan enam detik. Kejadian lain terjadi dalam lama Amerika Serikat vs Kana di Olimpiade 2012. Erin Mcleod mendapat hukuman setelah tiga kali coba mengulur-ulur waktu ketika bola berada di penguasaannya. 


Di Liga Inggris, pelanggaran ini jarang sekali terjadi. Jussi Jaaskelainen, penjaga gawang Bolton Wanderers dianggap melanggar aturan enam detik pada laga melawan Newcastle pada Februari 2002. 


Sejatinya, aturan enam detik ini memiliki maksud yang cukup baik. Dengan adanya aturan ini, penjaga gawang dicegah untuk terlalu berlama-lama dengan bola di tangannya sehingga dapat merugikan jalannya pertandingan.


Namun, perlu ada tanda khusus ketika aturan enam detik ini mulai diberlakukan. Misalnya saja, seperti dalam futsal di mana wasit akan memberikan aba-aba dengan jarinya yang menunjukan berapa detik penjaga gawang menguasai bola.


Jadi, kasus Simon Mignolet yang dengan mesra memegang bola selama 21 detik tidak terulang kembali.



Penjaga Gawang, Sejarah Pemilik Nomor Satu yang Abadi


Angka satu kerap dikaitkan dengan yang terbaik. Ranking satu di sekolah, posisi satu di sebuah perlombaan, juara satu di hati seseorang, adalah beberapa contoh mengapa satu angka yang begitu sakral.

Jika beralih ke sepakbola, nomor satu selalu identik dengan peran penjaga gawang. Seperti sebuah aturan tak tertulis, setiap tim sepakbola akan mempercayakan nomor punggung satu kepada sosok yang ada di bawah mistar gawang tersebut.

Penjaga gawang memang sangat spesial jika dibanding dengan peran-peran pemain lain di sepak bola. Setiap tim boleh tidak memainkan strikernya, tapi jangan harap melihat tim tersebut tampil tanpa sosok penjaga gawang di bawah mistar.

Penjaga gawang juga jadi satu-satunya pemain yang diizinkan menyentuh bola menggunakan tangan. Kecuali Diego Maradona di final Piala Dunia 1986, kamu akan melihat pemain dihadiahi kartu kuning atau bahkan merah jika dengan sengaja menyentuh si kulit bundar dengan tangan.

Selain peran spesialnya, apa yang menjadi dasar utama penjaga gawang selalu menggunakan nomor punggung satu?

Jawabannya hadir pada tahun 1928, tepat saat Arsenal yang diasuh Herbert Chapman bertanding melawan Sheffield Wednesday di First Division. Pertandingan tersebut menjadi sejarah karena untuk pertama kalinya, sebuah kesebelasan sepakbola memakai nomor punggung di setiap pemainnya.

Nomor punggung tersebut diurut berdasarkan posisi dalam formasi 2-3-5 yang saat itu sedang populer. Ketentuannya; Penjaga Gawang (1), full-back kanan (2), full-back kiri (3), right-half (4), center-half (5), left-half (6), outside-right atau penyerang sayap kanan (7), inside-right (8), center-forward atau penyerang tengah (9), inside-left (10), dan outside-left atau penyerang sayap kiri (11).

Pemberian nomor punggung tersebut menjadi terobosan paling revolusioner kala itu. Penonton yang menyaksikan jalannya pertandingan, bisa dengan mudah mengidentifikasi setiap pemain yang berlaga di lapangan.

Pada tahun 1939, FA membuat aturan resmi terkait kewajiban setiap tim di Liga Inggris untuk memberikan nomor punggung 1-11 kepada pemain yang jadi starter.

Meski tak ada aturan pasti yang menentukan nomor punggung mewakili posisi tertentu di lapangan, tapi secara alamiah memunculkan standar jika seorang penjaga gawang akan secara absolut mengenakan nomor punggung satu. Kesepakatan tak tertulis ini nyaris diterima secara universal.

Argentina yang Berani Beda

Karena tak ada aturan baku, tak selamanya pemberian nomor punggung selalu berdasarkan posisi sang pemain. Ambil contoh yang paling terkenal adalah Timnas Argentina di Piala Dunia 1978 dan 1982. Alih-alih mengikuti tren yang ada, Argentina malah memberikan nomor punggung sesuai alfabet.

Akibat ketentuan itu, Ossie Ardilles didapuk menjadi pemain Argentina yang mengenakan nomor punggung satu. Padahal Ardilles tidak berposisi sebagai penjaga gawang.

Namun, dari semua pemain Argentina tersebut, ada satu pemain yang tak mengindahkan aturan nomor punggung. Ia adalah Diego Maradona. Alih-alih memakai nomor punggung 12 sesuai urutan abjad, Maradona diizinkan mengenakan nomor 10 yang dikenal keramat.

Mereka yang Menolak dan Ingin Menjadi Nomor Satu

Saat ini, pemberian nomor punggung sudah lebih fleksibel. Patron tentang nomor punggung harus sesuai posisi pemain mulai ditinggalkan. Banyak penjaga gawang yang tak menginginkan memakai nomor satu dengan berbagai alasan.

Misalnya Rui Patricio yang di Wolves mengenakan nomor 11. Alasannya sebagai bentuk penghormatan kepada penjaga gawang Carl Ikeme yang terkena Leukimia. Atau ada juga Pepe Reina yang identik dengan nomor 25.

Jika ada penjaga gawang yang menolak, uniknya ada pula pemain-pemain outfield yang malah ingin mencicipi nomor punggung satu.

Legenda Belanda, Edgar Davids, pernah mengenakan jersey nomor satu ketika membela Barnet FC di League Two. Alasannya saat itu Davids menjabat sebagai pemain sekaligus pelatih tim.

Simon Vukcevic dipercaya memakai nomor punggung satu oleh FK Partizan di Liga Serbia. Itu merupakan bentuk penghargaan atas popularitasnya di kalangan pendukung Partizan. Kala itu Vukcevic berusia 17 tahun tapi sudah menjadi andalan dan idola fans Partizan.

Di balik sejarahnya yang panjang, satu tetaplah jadi nomor abadi untuk seorang penjaga gawang. Satu bisa jadi bentuk apresiasi tertinggi pada posisi yang wajib dan tak akan pernah terggantikan dalam permainan sepakbola.

***